PEMILU
Friday, 20 September 2024

Helmi Hidayat : Al Zaytun Diadili Dengan Tidak Beradab

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

lognews.co.id, Jakarta -  Al Zaytun diserang melalui penghakiman kesesatan yang dilakukan oleh gerombolan masyarakat melalui demonstrasi jalanan, perlakuan tersebut dianggap tidak beradab oleh Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

“apakah yang demo semua ahli fiqih kan belum tentu mengerti, coba kembali ke pengadilan kan ada majelis hakim, ahli, pengacara, beradab sekali” Ujar Helmi.

Ditelisik makna dari persekusi adalah perlakuan buruk secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya, bentuk yang paling umum adalah persekusi agama, rasisme, dan persekusi politik.

Dalam pemikirannya, Helmi menganggap masyarakat yang menghakimi diranah publik layaknya persekusi merupakan fenomena ketidak mampuan masyarakat dalam memahami kebenaran, sehingga perbedaan dihubungkan dengan kesesatan.

“tidak ada satu anak manusia bisa mengatakan sesat kepada ummat yang lain, siapa yang ngajarin itu, saya menganggap anda sesat, lah siapa saya? Semalam juga saya berbuat dosa, kemaren berbuat dosa, nasib saya digurun mahsyar belum jelas, nah kok sekarang orang yang belum jelas nasibnya merebut hak tuhan untuk menjadi ahkamul hakimin, satu satunya hakim digurun mahsyar di dunia ini” ujar Helmi.

Menyikapi masyarakat awam ikut mempersekusi tanpa mengerti mengenai keilmuan sejarah, ataupun fiqih Islam digambarkan Helmi dengan mengutip perkataan didalam Al quran “dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik” QS Anisa Ayat 5.

Ditengah wawancaranya bersama wartawan senior Nasution, Helmi Hidayat seorang Betawi asli  alumni Gontor yang menyelesaikan studi S2 di Cardiff Inggris mengungkapkan wawancara saat ini, bukan untuk membela Syaykh Panji Gumilang (SPG) secara pribadinya, namun membela untuk bertata negara berbangsa yang baik, karena sumber hukum yang diterima di Indonesia adalah UUD 1945, TAP MPR, bukan fatwa MUI yang produksi fatwanya tidak mengharuskan untuk dijadikan landasan hukum karena hukum yang dianut bukan hukum agama di negara agama.

Helmi mengatakan, seharusnya kejelasan dalam suatu masalah bisa selesai melalui undangan jumpa pers, membuat fatwa yang tertulis, tidak dengan cara yang tidak beradab yang ditampilkan oleh ormas MUI yang langsung memberikan pernyataan melalui media sosial twiter dan facebook.

“itu cara yang tidak benar, tidak bernegara itu namanya”

Helmi menyayangkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, tidak merespon dengan undang undang namun menunggu MUI dalam memberikan dasar keputusan terhadap yang dianggap kontroversi oleh masyrakat.

“ketika gubernur Jawa Barat belum mau bertindak, menunggu kepastian fatwa dari MUI, menurut saya nggak bener ini !, kan harusnya menentukan menurut dasar hukum yang ada, bahwa kemudian MUI membantu dengan fatwa ya boleh boleh saja” tegas Helmi.

Nasution mencermati apa yang terjadi saat masyarakat menunggu statement dari keputusan MUI, namun langsung diambil alih oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan diserahkan kepada Pemerintah Pusat, seperti MUI tidak dibutuhkan, hal tersebut menjadi suatu pertanyaan yang penting, dan dijelaskan langsung oleh Helmi.

“karena ormas MUI membawa kata ulama, mereka (eksekutif) tidak semua memahami menguasai keislaman oleh karena itu mereka respek, yang kedua setiap yang disebut ulama, secara antropologis pastilah disegani, jadi ada rasa ewuh pakewuh, namun sebagai ulil amri gak boleh, ambil tindakan sesuai undang undang, tidak bisa berpijak pada fatwa ormas tertentu”.

Dikatakan Helmi Ormas keagamaan sudah banyak seperti MUI, Muhammadiyah, NU, Walubi, dan di dalam kedokteran ada IDI, namun lagi lagi dikatakan, sikap ormas tidak bisa menjadi landasan hukum, sehingga diharapkan pemerintah bersikap sesuai undang undang bukan fatwa.

“mari kita beradab, adu argumentasi ya di pengadilan, bukan dijalanan, bukan di demontrasi, gak bener itu, itulah yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW” ujar Helmi dengan melanjutkan mengutip ayat Al Quran.

Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat. Qs Anisa ayat 105.

Jika hukum yang paling tinggi adalah dari pedapat banyak orang, menurut Helmi, menjadi lucu, karena tidak semua memiliki literasi yang baik, mengetahui fikih hanya dari madzhab syafii, meskipun diam diam, ada madzhab lain yang disusupkan dan dipraktekan, tiba tiba ada seseorang yang menggunakan madzhab lain yang mereka tidak tahu, maka mereka menganggap sesat dan keluar daripada islam, disitulah lucunya.

Dijelaskan satu persatu, Helmi mengupas semua yang dianggap sesat mulai dari hal shalat idul adha, Jum’at atau Idul Fitri, ada perempuan bershaft sejajar, ada shalat berjarak, padahal di Masjidil Haram di Mekah pun mempraktekan hal yang sama.

“saya shalat di masjidil haram, disebelah saya ada perempuan, itu shalat Ashar, nanti shalat maghrib didepan saya ada perempuan, karena itu di depan kakbah, ya sesholatnya kita, jika itu dilarang kenapa diperbolehkan dan terjadi” tukas Helmi.

Di Madinah juga sejajar antara laki laki dan perempuan hanya saja memakai tirai ditengahnya, jelas didalam ajaran islam, tidak pernah membedakan antara laki laki dan perempuan.

“kita sejajar, baik mukmin maupun muslimah kalau berbuat amal baik diterima oleh Allah SWT, masa hanya berbeda kelamin juga diperlakukan berbeda dihadapan agama besar Islam, gak masuk akal saya itu.” ujar Helmi.

Lanjut Helmi menanyakan dengan heran, “dimana sesatnya kalau Panji Gumilang ?,”  membuat itu dibilang sesat, termasuk soal shalat berjarak yang pernah dilakukan oleh umat islam sedunia hanya saja caranya  berbeda namun tetap saja menyembah pada Tuhan yang sama.

“saya yakin Allah SWT tersenyum melihat jemaah Al Zaytun shalat dengan cara begitu, karena apa yang disembah bukan batu, pohon, tapi Allah SWT caranya berbeda, yang ini bilang perempuan dibelakang, yang itu perempuan sejajar, Cuma beda pandangan doang” tukas Helmi.

Kupas tuntas mengenai kesalah pahaman dalam menerima perbedaan, disayangkan jika terus dipermasalahkan karena bisa memicu politik identitas, oleh karenanya Helmi mengajak umat islam berfikir terbuka.

“cobalah kita buka fikiran kita kepada perbedaan pendapat, biarkan saja, oh ternyata SPG yang salah, ya serahkan kepada Allah nanti di akherat bukan di sini teriak teriak dijalanan, emang siapa ente?!” tegas Helmi.

Berikutnya soal nyanyian salam berbahasa ibrani “shalom aleichim” dijelaskan dengan tiga alasan ;

1. Bahasa Ibrani dan bahasa arab yang dipilih allah untuk menurunkan wahyunya, yaitu Taurat dan Al quran. “lalu apa masalah kita?, kenapa nyanyi bahasa Sunda, Arab, Inggris tidak dipermasalahkan?, kenapa giliran nyanyi bahasa Ibrani tidak boleh?” tanya Helmi.

2. Apakah toleransi ini kebalasan hanya karena bernyanyi bahasa Ibrani?.

“kita harus tahu ketika Rasulullah SAW, terbujur kaku sebelum dikebumikan, seorang Yahudi berkata ke istri Nabi untuk menanyakan baju zirah milik Nabi yang digadaikan, dan diperintahkan oleh istri Nabi untuk silahkan diambil saja, artinya rasulullah berbisnis dengan yahudi, subhanallah, apa problemnya coba?” jelas Helmi seraya tertawa keheranan.

3. Didalam Synagog menyebut nama Allah, tercatat didalam Al Qur’an, dalam surat Al hajj, ayat 40, kalaulah Allah membiarkan satu golongan menyerbu, membumihanguskan golongan lain, maka sudah dihancurkan semua synagog, wihara, gereja, masjid, yang didalamnya banyak menyebut nama nama Allah SWT.

“Allah SWT sendiri mengakui, kenapa sekarang manusia yang bukan Allah, malah marah, jangan begitu dong, ayo kita bangun perdamaian, toleransi yang baik dengan semua pemeluk agama, dengan suku suku, bangsa bangsa, kan itu yang diajarkan Alquranul karim” jelas Helmi, seraya mengajak untuk bangga karena Alquran itu kitab toleransi terbesar.

“ kalau Alqur’an tidak mengajarkan kebaikan, saya sudah keluar dari Islam, karena itu yang saya ceramahkan, saya kutbahkan, yang dilakukan oleh Panji Gumilang itu kecil dibandingkan apa yang disuarakan oleh Alqur’an itu lebih hebat lagi” tegas Helmi.

Mengambil kesimpulan dalam pembicaraan antara wartawan, Helmi diketahui sebagai wartawan di Pelita kemudian beralih ke Republika setelah kelulusannya S1 di UIN Syarif idayatullah Jakarta, menerangkan bahwa keseksian Ponpes Al Zaytun sama dengan peristiwa di Gontor yang ingin direbut tahun 1967 karena merasa beda pandangan dengan Kiyai imam zarkasih berorasi ingin merebut kepemimpinan Gontor, sama seperti Al Zaytun.

“masa sih tidak ada yang mau merebut dengan gampang dan murah lalu tiba tiba menjadi kiyai yang populer memimpin Al Zaytun, sederhana siapa orangnya, Wallahu alam, habis apalagi dong? Simpul Helmi.

Menutup wawancara, Helmi mengajak sesama anak bangsa kembangkan toleransi, multikulturalisme. "ingat Indonesia merupakan negara muslim terbesar di muka bumi, kenapa harus kita rusak" pesannya  (Amr-untuk Indonesia)