lognews.co.id – Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba resmi mengundurkan diri pada Minggu (7/9), setelah dinilai bertanggung jawab atas kekalahan besar Partai Demokrat Liberal (LDP) dalam pemilu parlemen Juli lalu.
Mundurnya Ishiba menambah daftar panjang perdana menteri Jepang yang lengser lebih cepat dari masa jabatannya. Tradisi ini bukan hal baru; para pejabat di Negeri Sakura kerap memilih mundur bila dianggap gagal menjalankan tugas atau melanggar etika publik.
Bahkan, kasus serupa pernah terjadi pada Mei lalu ketika Menteri Pertanian Jepang mengajukan pengunduran diri hanya karena komentar yang dianggap tidak pantas soal harga beras. “Saya bertanya pada diri sendiri apakah pantas bagi saya untuk tetap memegang kendali (kementerian) di saat harga beras sedang kritis,” ujar Eto saat itu, dikutip dari Kyodo News.
Fenomena ini tak lepas dari budaya malu (haji) yang mengakar kuat dalam masyarakat Jepang. Budaya tersebut merupakan warisan Bushido, kode etik para samurai pada zaman Edo (1600 - 1867), yang banyak dipengaruhi filsafat Konfusianisme dari Tiongkok.
Dalam ajaran Bushido, nilai seperti meiyo (kehormatan), haji (malu), iji (bangga), dan menjaga mengoku (wajah) dijunjung tinggi sebagai martabat seorang samurai. Semangat ini kemudian melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Jepang modern.
Tak heran, pejabat Jepang yang dinilai gagal cenderung mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral. Dampaknya, masyarakat Jepang tumbuh dengan etos kerja perfeksionis, disiplin, dan dedikasi tinggi demi menghindari perbuatan yang dianggap mencederai kehormatan. (Sahil untuk Indonesia)


