PEMILU
Friday, 20 September 2024

Kisah Peletakan Hajar Aswad Zaman Now

User Rating: 5 / 5

Star ActiveStar ActiveStar ActiveStar ActiveStar Active
 

Oleh: Pungki Harmoko, S.H.

loggnews.co.id - Semasa Rasulullah Muhammad SAW belum diangkat sebagai Rasul bagi seluruh alam, Beliau telah terkenal sebagai seorang yang sangat jujur, berlatarbelakang keluarga terhormat dan memiliki kelebihan mampu meredam pertikaian antar suku (kampung). Sehingga beberapa kali Muhammad muda dipercayai memberikan keputusan-keputusan krusial menyangkut kepentingan bersama.

Salah satu contoh paling populer tentang keberhasilan Nabi SAW menyelesaikan sengketa di antara kaumnya sebelum Beliau dimusuhi karena menyebarkan ajaran Islam adalah ketika terjadi peristiwa renovasi Ka’bah. Kala itu, masyarakat Makkah merenovasi Ka’bah setelah musibah banjir yang menenggelamkan kota, termasuk bangunan Ka’bah. Kondisi ini memanggil mengundang orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian situs peninggalan leluhur mereka, Ibrahim AS yang tetap dijaga kelestariannya.

Menurut riwayat yang paling shahih, ketika itu Nabi berusia 35 tahun. Aktif terlibat dalam pembangunan dari awal hingga akhir. Pada awalnya, mereka bersatu padu, saling bahu membahu di antara mereka. Namun ketika pembangunan memasuki tahap-tahap akhir, yakni prosesi peletakan Hajar Aswad.

Mereka mulai berselisih pendapat, Siapakah tokoh di antara mereka yang layak mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad sebagai tanda peresmian penyelesaian renovasi dan mulai dapat digunakan kembali.

Banyak pendapat bermunculan dan saling simpang siur, masing-masing saling ingin mengedepankan pemimpin kelompoknya sendiri. Hingga akhirnya Muhammad, Suami Khadijah ini mengajukan usul, ”Siapa pun yang besok pagi datang paling awal ke tempat pembangunan (renovasi) maka dialah yang berhak atas kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad.” Masyarakat pun menyetujuinya, mereka yakin ini adalah jalan terbaik bagi mereka.Keesokan harinya, ternyata yang datang paling pagi, paling awal adalah Muhammad sendiri, maka Beliaulah yang berhak meletakkan hajar aswad sebagai tanda peresmian Ka’bah kembali.

Namun Rupanya Muhammad bukanlah seorang yang egois. Ia kemudian membentangkan sorbannya menaruh hajar aswad di atasnya dan mengajak beberapa tokoh lain untuk turut serta meletakkan hajar aswad bersama-sama. Maka puaslah mereka atas keputusan Muhammad tersebut, demikian tersebut dalam kitab Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin.

Sejarah adalah cerminan dari perjalanan hidup manusia, yang penuh dengan pelajaran berharga dan peringatan. Jangan pernah melupakan sejarah, karena di dalamnya terdapat jejak-jejak yang dapat membantu kita menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Sejarah sering kali berulang, baik dalam skala kecil maupun besar, dan mereka yang gagal belajar dari masa lalu akan cenderung terjebak dalam pola-pola yang sama. Dengan mengingat dan memahami sejarah, kita tidak hanya menghormati para pendahulu, tetapi juga memperkuat kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan yang akan datang.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Melalui sumpah ini, para pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang suku, agama, dan budaya menyatakan tekad untuk bersatu demi kemerdekaan Indonesia. Mereka sepakat untuk mengakui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa—Indonesia. Ikrar ini menjadi simbol kebangkitan nasionalisme dan semangat persatuan yang kemudian menginspirasi pergerakan kemerdekaan melawan penjajahan.

Sumpah Pemuda tidak hanya menjadi dasar dari semangat persatuan, tetapi juga menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah halangan, melainkan kekuatan. Dengan bersatu, para pemuda membuktikan bahwa mereka mampu melampaui sekat-sekat perbedaan dan bergerak bersama menuju tujuan yang sama, yaitu kemerdekaan bangsa. Semangat persatuan ini tetap relevan hingga saat ini, menjadi pengingat bagi generasi penerus untuk terus menjaga dan memperkuat persatuan bangsa demi tercapainya cita-cita bersama.

Kisah peletakan Hajar Aswad dan Sumpah Pemuda sama-sama menggambarkan bagaimana persatuan dapat dicapai melalui pencarian persamaan di tengah perbedaan. Dalam kisah peletakan Hajar Aswad, Nabi Muhammad menunjukkan kebijaksanaan dengan menemukan cara untuk mempersatukan suku-suku Quraisy yang berbeda, dengan membiarkan mereka bersama-sama mengangkat kain yang memuat Hajar Aswad. Tindakan ini tidak hanya meredakan konflik, tetapi juga menegaskan pentingnya kerja sama dan menghormati perbedaan demi mencapai tujuan bersama.

Begitu pula dalam peristiwa Sumpah Pemuda, para pemuda dari berbagai suku, budaya, dan latar belakang yang berbeda berhasil menemukan kesamaan dalam cita-cita kemerdekaan dan identitas nasional. Dengan menyatakan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, mereka mengesampingkan perbedaan demi memperkuat persatuan. Baik dalam kisah Hajar Aswad maupun Sumpah Pemuda, pesan yang diusung adalah bahwa persatuan yang kokoh dapat tercapai jika kita mampu melihat dan menghargai persamaan yang ada di antara kita, serta bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

Menuju 100 tahun Sumpah Pemuda, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjaga dan memperkuat persatuan di tengah dinamika global dan nasional yang semakin kompleks. Di era digital ini, arus informasi yang begitu cepat dan tidak terbendung seringkali membawa dampak negatif, termasuk penyebaran hoaks, intoleransi, dan polarisasi di masyarakat. Dalam konteks ini, alat pemersatu bangsa menjadi lebih penting dari sebelumnya untuk memastikan bahwa semangat persatuan yang telah diikrarkan hampir seabad yang lalu tetap hidup dan relevan. Alat-alat pemersatu seperti bahasa Indonesia, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus dijaga dan dikembangkan agar dapat menjadi fondasi yang kuat dalam menghadapi tantangan zaman.

Lagu "Indonesia Raya" yang terdiri dari tiga stanza adalah warisan nasional yang memiliki makna mendalam sebagai alat pemersatu bangsa. Sayangnya, banyak masyarakat Indonesia yang hanya mengenal dan menyanyikan stanza pertama dari "Indonesia Raya," sementara dua stanza lainnya terlupakan. Ini mencerminkan betapa pentingnya mengingat kembali seluruh bagian dari lagu kebangsaan kita sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ketiga stanza tersebut secara keseluruhan menggambarkan visi besar para pendiri bangsa dalam membangun Indonesia yang bersatu, adil, dan makmur. Jika ketiga stanza ini dihayati dan dinyanyikan kembali, maka pesan-pesan tersebut dapat menjadi inspirasi dan pengingat bagi generasi masa kini tentang pentingnya persatuan dan kerja sama.

Di sisi lain, pemaknaan Syaykh Panji Gumilang, saat Peringatan 25 Tahun Ulang Tahun Ma’had Al-Zaytun terhadap salah satu lirik pada Lagu Indonesia Raya yang berbunyi: Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya, Ruuhan wa al-Jasad harus disambungkan. Pendidikan agar hidup, harus dimasukkan anthem Indonesia Raya yang merupakan ruh (spirit) dari pendidikan. Sehingga selaras pendidikan jasmani dan rohani yang akan menciptakan kehidupan yang optimis menghadapi masa hadapan.

Indonesia Raya 3 stanza juga merupakan obat yang akan memberikan kesembuhan bagi bangsa ini. Tidak hanya dinyanyikan pada saat upacara bendera di sekolah sesuai Permendikbud Nomor 22 Tahun 2018 (yang saat ini hanya dinyanyikan satu stanza kembali), namun baiknya dinyanyikan setiap hari sebelum aktivitas pelajaran sekolah, kampus, maupun di instansi-instansi pemerintahan dimulai. Sesuatu yang diucapkan (dinyanyikan) berulang, akan tertanam di bawah sadar. Apa lagi jika disertai ajakan untuk lebih lagi menggali makna yang terkandung dalam Indonesia Raya 3 stanza. Niscaya kecintaan terhadap tanah air akan muncul dengan sendirinya. Begitu juga dengan kesadaran hukum (rechtsbewustzijn). Yang diperlukan tentunya politik hukum berupa political will dan konsistensi (teguh pendirian).

Lalu bagaimana agar hal itu dapat tercapai? Menurut penulis, yang pertama adalah bangsa Indonesia harus yakin dan sepakat bahwa mengembalikan Lagu Indonesia untuk dinyanyikan secara Raya 3 stanza merupakan hal yang urgen, penting untuk dilakukan. Sebab “badan” yang kita miliki saat ini, tanpa adanya “ruh” (spirit dari anthem Indonesia raya), dapat dikatakan hidup tapi mati. Boleh juga dikatakan mabuk dalam bernegara. Sehingga apa yang diucapkan tidak sama dengan apa yang diperbuat (mati hati nuraninya/tidak sadar hukum).

Jika sudah yakin dan sepakat, maka tinggal mencari jalan, bagaimana Lagu Indonesia Raya 3 stanza dapat terus berkumandang di seantero Indonesia. Untuk itu perlu dikaji lebih dalam mengapa Lagu Indonesia Raya hanya dinyanyikan satu stanza?

Kembali kepada sejarah, faktanya hal ini merujuk pada keputusan Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia menetapkan menyanyikan Indonesia Raya cukup satu stanza saja. Panitia Lagu Kebangsaan saat itu diketuai oleh Sukarno (yang kemudian menjadi Presiden Pertama RI), dengan anggota Ki Hajar Dewantara, Achiar, Sudibyo, Darmawidjaja, dan Mr. Oetojo.

Sejak itu, satu stanza ini lagu Indonesia Raya wajib dimainkan ketika upacara bendera HUT RI setiap tanggal 17 Agustus bersamaan dengan pengibaran bendera Merah Putih.

Kemudian ketetapan ini juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Menurut pasal 60 pada bagian ketiga UU, tata cara penggunaan Lagu Kebangsaan adalah sebagai berikut:

1. Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara instrumental.

2. Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrain.

3. Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama.

Pasal 61 menjelaskan bahwa apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap dengan tiga stanza, bait ketiga stanza harus dinyanyikan ulang satu kali.

Untuk mengembalikan Lagu Indonesia Raya dinyanyikan secara 3 stanza, perlu ada Judicial Review (uji materiil ke Mahkamah Konstitusi) terhadap Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Dengan menghapus Pasal 60 ayat 3, serta menghilangkan frasa “Apabila” pada pasal 61. Sehingga tidak ada pilihan untuk menyanyikan Lagu Kebangsaan satu stanza saja.

Pertanyannya, siapa yang mau mengajukan Judicial Review terhadap Pasal 60 ayat 3 dan Pasal 61 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara? Tentunya anak bangsa yang merasa terpanggil. Anak bangsa yang merasa memiliki Negara Indonesia dan ingin Indonesia Abadi serta masih eksis hingga 1000 tahun lagi.

Menurut penulis, mengembalikan Lagu Indonesia Raya menjadi 3 stanza melalui uji materiil ke Mahkamah Konstitusi ibarat sorban yang mewadahi Hajar Aswad untuk diletakkan bersama-sama di Ka’bah (rumah/tanah suci), yang akan mempersatukan dan menjadi ruh bangsa untuk bersama-sama membangun. Bukankah Indonesia Tanah yang Suci seperti di bait Lagu Indonesia Raya Stanza ketiga? Ini akan menjadi Kisah Peletakan Hajar Aswad Zaman Now. Kisah yang akan dikenang oleh anak keturunan kita 1000 tahun yang akan datang. Apakah anak bangsa yang dimaksud itu kamu? Semoga Allah menggerakkan dan meluluhkan hati kita agar senantiasa mencintai Negara ini melebihi kecintaan kita terhadap diri sendiri.

Sebagai penutup, harapan penulis ini bukanlah sekedar wacana. Tapi aksi nyata. Untuk itu penulis mengajak para praktisi hukum yang berkenan bersama-sama mengusung ide/gagasan ini menjadi sebuah gagasan bersama. Menyusun draft uji materiil dan mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi bersama-sama.