Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan memasuki sesi ke-24, sebuah momentum penting yang mengusung tema besar: Transformasi pendidikan revolusioner berasrama menuju Indonesia modern abad XXI dan 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Tepat pada hari Ahad, 16 November 2025, yang secara simbolis bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional, forum yang berlangsung inspiratif ini menghadirkan seorang pakar humaniora yang mendalam, Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., Guru Besar Antropologi dari UGM Jogjakarta.
Memerdekakan Pendidikan: Trikon Ki Hajar dan Toleransi sebagai Jalan Hidup
Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., seorang Antropolog terkemuka, membuka paparannya dengan sebuah kerendahan hati yang mendalam. Ia menolak dipanggil "Profesor," memilih untuk disapa "Laksono" karena di tempat itu ia merasa sebagai "orang biasa, orang kecil". Lebih dari sekadar gelar, ia menyatakan bahwa tujuan hidupnya bukanlah menjadi seorang profesor, melainkan menjadi orang biasa, sebuah pencapaian yang ia anggap "jauh lebih sulit dibandingkan menjadi guru besar". Baginya, menjadi orang biasa adalah keabadian, karena prosesnya tak pernah selesai, tidak memerlukan ijazah atau nilai, melainkan pencarian abadi akan kebenaran dan kebahagiaan—hal yang tidak didapat di ruang kursus bersertifikasi.
Paparan pembicara berfokus pada pentingnya melihat pendidikan bukan sekadar ruang belajar, tetapi sebagai perjalanan membentuk jiwa dan membangun peradaban.
Toleransi: Dari Semboyan Majapahit hingga Krisis Sikap
Laksono menyoroti bahwa konsep inti toleransi sebetulnya telah mengakar di Indonesia jauh sebelum deklarasi formal UNESCO 30 tahun lalu, yaitu melalui Bhinneka Tunggal Ika sejak era Majapahit. Ini menjadikan bangsa Indonesia "lebih maju dari seluruh dunia untuk perkara toleransi" di atas kata-kata.
Namun, di tataran tindakan sehari-hari, muncul tanda tanya besar. Indonesia menghadapi kesenjangan serius antara ucapan (pocapan) dan sikap tindak, ditandai oleh konflik antargolongan, agama, dan kecenderungan bersifat egois. Mengatasi kesenjangan ini hanya mungkin melalui pendidikan.
Secara etimologis, toleransi berasal dari bahasa Latin Tolerare, yang berarti sabar, menahan diri, dan membiarkan proses menuju ikhlas. Toleransi adalah sebuah proses bersikap aktif, yang berangkat dari niat untuk menghormati segala perbedaan dan ikhlas menerima bahwa kita lahir dan hidup berbeda-beda. Bersatu terjadi karena adanya solidaritas, yaitu saling memberi dan mengorbankan egoisme serta ketidakpedulian. Oleh karena itu, toleransi adalah "gerakan anti ketidakpedulian". Toleransi, bagi negara, adalah sebuah kewajiban untuk menjaga suasana hubungan antar pribadi, suku, golongan, agama, dan kelas, agar saling menghargai secara manusiawi dan tidak ada yang terpinggirkan.

Refleksi Ki Hajar Dewantara: Trikon dan Kemerdekaan
Perjuangan untuk merdeka sejati dan bergotong royong di Indonesia melibatkan sosok besar Ki Hajar Dewantara. Melalui tulisannya Als ik een Nederlander band (Seandainya Aku Orang Belanda), Ki Hajar menyikapi kebijakan apartheid dan menjadi sumber inspirasi bagi pendidikan yang memerdekakan.
"Merdeka adalah salah satu syarat toleransi. Tidak ada toleransi tanpa kemerdekaan.".
Kemerdekaan sejati bukanlah hanya berada di luar administrasi resmi, melainkan jiwa yang mampu mengambil keputusan secara mandiri, mampu mengubah situasi menjadi lebih baik, dan lebih bebas.
Ki Hajar merumuskan tiga prinsip pendidikan yang ia terapkan di Taman Siswa, yang disebut Trikon:
1. Konvergen: Kita tidak tertutup, melainkan berhubungan, berinteraksi dengan pihak lain, dengan dunia baru yang terus berubah.
2. Kontinuitas: Segala usaha harus dilakukan berkelanjutan, seperti konsep circular economy (ekonomi sirkular) yang meniadakan limbah.
3. Konsentris: Berakar pada keunggulan budaya-budaya lokal bangsa.
Trikon ini kemudian disederhanakan oleh Ki Hajar sendiri menggunakan ungkapan Jawa: niteni (mengamati dengan jeli teliti), niroke (menirukan), dan nambahi (menambahkan). Langkah 3-N inilah yang diperlukan bagi bangsa ini untuk melahirkan kecerdasan hidup berbangsa, yang penuh toleransi.
Pendidikan Sebagai Keinsyafan Kolektif dan Kerja Antropologi
Undang-Undang Dasar mengamanatkan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar mencerdaskan kehidupan seseorang. Ini berarti inti dari kecerdasan hidup berbangsa adalah insyaf bertoleransi. Konsep ini disebut keinsyafan (conscientization), sejalan dengan asas yang dipakai oleh Paulo Freire dalam pendidikan yang membebaskan.
Pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bersama harus berbasis pada kebudayaan. Antropologi, sebagai disiplin ilmu, bekerja untuk mengenali proses bagaimana makna suatu peristiwa terjadi di lapangan, guna memahami hidup bersama secara dialektik dan reflektif.
Dalam konteks sejarah nasional, lian (orang lain) bagi para pendiri bangsa adalah perbedaan suku dan agama yang diwarisi dari politik plural society Belanda. Membangun toleransi dan solidaritas di tengah perbedaan ini tidak mudah, hingga akhirnya para pendiri bangsa bersepakat menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai lingua franca melalui Sumpah Pemuda.
"Pendidikan toleransi tidak mungkin tanpa ada bahasa bersama.".
Friksi, Aneh, dan Kreativitas Lintas Budaya
Hidup bersama selalu dihadapkan pada friksi—ruang kosong antara dunia lama (tradisi) dan dunia baru (globalisasi)—yang membutuhkan niat dan kreativitas untuk bergerak maju. Pendidikan berasrama tidak dimaksudkan untuk "melem" semua perbedaan menjadi solid, melainkan untuk memfasilitasi kreativitas para siswa dalam mengatasi friksi tersebut.
Laksono juga menyinggung pentingnya fenomena "aneh". Hal-hal yang aneh, yang tidak dimengerti, justru berfungsi di dalam perubahan kebudayaan dan untuk membuka jalan, untuk menjadi kreatif. Namun, sisi ekstremnya adalah nekat dan amok—dua kata yang menandai kurangnya toleransi, kesembronoan, dan merupakan tantangan besar bagi bangsa.
Inti dari toleransi konkret adalah pengakuan antar manusia, dan jalannya adalah bahasa. Laksono berbagi kisah keberhasilan program antarbudayanya di mana satu kalimat sapaan dalam bahasa lokal mampu menciptakan persatuan lintas budaya yang tak terbayangkan.
Kebudayaan sendiri diartikan sebagai wacana kreatif pada sistem pemaknaan atau genah-genahan (saling memberi pengertian).
Sebagai bagian dari upaya mencerdaskan komunitas, Laksono dan timnya mengembangkan dua inovasi toolkit yang dirancang bersama untuk mengembangkan kecerdasan kritis dan memecahkan masalah bersama secara partisipatoris:
1. SiSibul (Siaga Siklis Bulan Lapar Toolkit): Alat untuk mitigasi ancaman kelaparan dengan membantu komunitas mengenali kondisi, situasi, musim, usaha tani, dan siklus sosial, agar dapat merumuskan rencana aksi bersama.
2. SiKAT (Siaga Krisis Akulturasi Toolkit): Alat untuk mencerdaskan pemahaman tentang perbedaan kondisi (keadaan belum tersentuh nilai) dan situasi (keadaan setelah ada nilai), melalui permainan kuartet dan ular tangga, untuk merumuskan langkah bersama secara demokratis.

Epilog: Maju dalam Keikhlasan Sirkular
Pendidikan yang memerdekakan adalah sebuah perjalanan sirkular, bukan linear. Puncak dari toleransi adalah kemerdekaan, dan kemerdekaan itu sendiri adalah awal dari toleransi. Di tengah gejolak friksi dan tantangan nekat, proses pendidikan harus menjadi cerminan akulturasi dan perubahan kebudayaan, bukan sekadar hafalan.
Refleksi Laksono mengajarkan bahwa kecerdasan hidup berbangsa terletak pada kemampuan untuk berdamai dengan perbedaan, mengorbankan ego, dan terus-menerus bergerak maju, meskipun jalannya meliuk-liuk. Semangat untuk mengapresiasi bahasa ibu, budaya lokal, dan melihat orang lain sebagai sahabat adalah kunci utama dalam membangun solidaritas nasional. Dengan menjadi "orang biasa" yang ikhlas dan peduli pada lian, setiap individu menjadi sekrup kecil namun vital dalam memproyeksikan cita-cita besar bangsa: mencerdaskan kehidupan bersama yang penuh toleransi.


