السبت، 06 كانون1/ديسمبر 2025
Previous Next

Gizi, Tanah, dan Ketahanan Bangsa : Refleksi atas Pemakanan Manusia

تقييم المستخدم: 5 / 5

تفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجوم
 

Disarikan dari Dzikir Jum'at Syaykh Al-Zaytun oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id, Indonesia - Syaykh Al-Zaytun, setelah shalat Jum'at secara rutin memberikan wejangan kepada Jama'ah Masjid Rahmatan lil'Alamin atau dikenal dengan dzikir Jum'at. Pada Jum'at ini, 15/8/2025 Syaykh melontarkan pernyataan yang memantik jamaah untuk berfikir. Beliau mengawali taushiyahnya dengan menyampaikan informasi bahwa belakangan ini pemerintah menggulirkan program yang disebut Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, istilah ini sering membingungkan karena bahasa yang digunakan tumpang tindih dan kurang berpijak pada akar kata. Kata gizi sendiri memiliki perjalanan panjang. Asalnya dari bahasa Arab gidza . Dalam logat Mesir, huruf dzal berubah menjadi zay, sehingga terdengar “giza”. Dalam bahasa Arab baku, kata itu adalah ghodza, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi gizi.

Sebagai pusat pendidikan, Ma'had AL-Zaytun memiliki spirit pesantren but modern system sudah mampu menerapkan program makan 3 kali bagi seluruh pelajar dan civitas sejak tahun berdirinya Ma'had Al - Zaytun, tidak dengan penyebutan gizi gratis melainkan dengan menggunakan istilah "Asupan Pemakanan Fungsional" yang ada didalam ekosistem pendidikan yang tidak terputus.

Menurut Syaykh, sayangnya kita sering melupakan makna aslinya. Gizi secara harfiah berarti zat yang terkandung dalam makanan. Di Malaysia, istilah ini disebut sebagai zat makanan. Namun, sejatinya, makanan bukan hanya soal gizi dan pemenuhan perut. Makanan adalah sebuah kesadaran kesadaran bahwa zat yang berasal dari bumi sejatinya menjadi penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta.

Dalam pandangan spiritual, makanan yang baik bukan sekadar memenuhi kebutuhan fisik, tetapi mengantarkan manusia pada kesadaran ketuhanan. Itulah sebabnya dalam Al-Qur’an Surat Thaha: 55, Allah berfirman: “ Minhaa khalaqnaakum, wa fiihaa nu’iidukum, wa minhaa nukhrijukum taaratan ukhraa” dari tanah kita diciptakan, ke tanah kita kembali, dan darinya pula kita dibangkitkan.

Jika kita berbicara tentang ketahanan pangan dan gizi, maka kita harus mulai dari hulu: merawat tanah. Merawat tanah bukan sekadar pekerjaan teknis, tetapi sebuah ibadah kepada Sang Pencipta tanah. Dari tanah yang subur lahirlah makanan yang baik, dan dari makanan yang baik, lahirlah tubuh yang sehat untuk mengabdi kepada-Nya. Itulah mengapa setiap kali makan, kita dianjurkan berdoa, “ Allahumma baarik lanaa fima razaqtana waqina 'adzabannar ” memohon keberkahan atas rezeki yang telah dianugerahkan, jelas Syaykh.

IMG 20250807 WA0059

(Pelajar Ma'had Al-Zaytun kelas X, XI, XII, Ekstrakurikuler Pertanian saat berbaris untuk berkoordinasi pembagian tugas dalam kegiatan Panen ratun 1 padi koshihikari di lahan praktikum Raden Paku, Ma'had Al-Zaytun)

Gizi yang baik membuat manusia berdiri tegak, menjalankan tugas hidupnya dengan optimal, dan menjadi pribadi yang kuat untuk beribadah. Sebaliknya, kekurangan gizi membuat tubuh lemah, daya pikir menurun, bahkan mengancam masa depan sebuah bangsa. Istilah stunting lahir dari fenomena ini—ketika kekurangan gizi menghambat tumbuh kembang anak, baik secara fisik maupun mental.

Bangsa yang warganya kekurangan gizi sulit mempertahankan dirinya, apalagi bersaing di tingkat global. Maka, urusan gizi bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga kepemimpinan. Pemimpin yang gagal memenuhi kebutuhan gizi rakyatnya sejatinya telah gagal menjalankan mandatnya. Negara-negara maju tidak lagi membicarakan pangan sebagai masalah mendesak, karena kebutuhan tersebut sudah tercukupi.

Sayangnya, di Indonesia masih terjadi kekacauan. Pangan oplosan, bahan campuran yang berbahaya, dan distribusi yang tidak merata adalah gejala dari sistem yang belum kokoh. Kekurangan gizi di satu sisi, dan pemborosan di sisi lain, menjadi paradoks yang menyedihkan.

Untuk itu, para santri, petani, dan seluruh elemen masyarakat perlu bersinergi menyiapkan pemenuhan pangan yang berkualitas. Sebab, ketika petani sejahtera, negara pun sejahtera. Petani kaya, negara kaya. Nong Hu Qou Chai

 

Epilog: Menanam untuk Generasi

Bangsa ini tidak akan kokoh tanpa pondasi gizi yang kuat. Tanah yang subur adalah amanah, dan memberi makan rakyat dengan layak adalah ibadah. Setiap butir padi yang ditanam, setiap sayur yang dipanen, dan setiap tetes keringat petani adalah investasi masa depan bangsa.

Anak-anak kita berhak tumbuh tinggi, cerdas, dan kuat, bukan sekadar untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk mengabdi kepada bangsa dan Tuhan. Karena itu, menjaga gizi bukan hanya urusan dapur atau pertanian—ini adalah urusan peradaban.

Dan ketika semua pihak sadar, dari pemimpin hingga rakyat jelata, bahwa memberi makan dengan gizi yang cukup adalah bagian dari membangun masa depan, maka saat itulah kita benar-benar sedang menanam peradaban yang akan berbuah manis untuk generasi mendatang.